"Abang, adik, ayo udahan dulu mainnya. Dada ayah sesak, ayah mau ke dokter sekarang. Nanti kalau ketemu ibu, kamu bilang ke ibu ya, Bang, dada ayah sesak dan keluar keringat dingin," kata saya kepada kedua putra saya, Azka (9) dan Azzam (5).
Sebelum kejadian itu, istri saya memang izin pergi sejenak ke toilet. Hanya saya yang menemani kedua anak saya di tempat hiburan di lantai dasar pusat belanja tersebut.
Namun, tak sampai lima menit istri saya pergi, kejadian itu berlangsung. Saya dan kedua anak saya pun bergegas ke lantai satu, menyusul istri saya.
Prinsip saya, jalan pelan-pelan dan usahakan tetap sadar atau tidak pingsan. Otak saya hanya memerintah untuk selekasnya ke rumah sakit.
Hanya dituntun dua bocah berumur belum genap 10 tahun, saya cuma bisa pasrah.
Meskipun kepala tidak terasa pusing, kaki saya lemas sehingga saya harus pelan-pelan mengikuti langkah kedua anak saya.
Bahkan, dengan berusaha tetap tenang, kami bisa melewati eskalator menuju lantai satu.
"Lho, kamu kenapa? Kok dingin banget? Kamu masuk angin nih kayaknya," kata istri saya, setelah kami bertemu dengannya. Azka, anak saya yang nomor satu memotong.
"Dada ayah sesak, keringatnya dingin Bu, ayah minta ke dokter," ujar Azka. Saya masih sadar, tetapi saya memang sudah tak mau bicara apa-apa.
Dada saya makin sesak. Karena itu, saya biarkan anak saya yang bicara untuk menghemat energi supaya tidak pingsan.
"Kamu masuk angin nih. Ya sudah, kita pulang sekarang saja ya," kata istri saya.
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR