Dikutip dari buku "Selaksa Rasa dan Cerita" (2016) karya Akademi Kuliner Indonesia yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, soto tangkar sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Pasa saat itu harga daging sapi termasuk mahal, sehingga hanya maneer Belanda yang mampu membelinya.
Sementara masyarakat lokal hanya mampu membeli bagian tangkar yang sedikit berdaging karena harganya murah.
Ada juga yang mengatakan bahwa pada zaman penjajahan Belanda, para meneer yang mengadakan pesta akan mengolah daging sapi.
Masyarakat lokal lantas memanfaatkan bagian tangkar dan jeroan yang memang tidak diolah orang Belanda.
Sisa tangkar dan jeroan tersebut kemudian diolah oleh masyarakat menjadi beragam masakan, salah satunya soto tangkar.
Soto tangkar, mirip dengan kebanyakan makanan Betawi, mengalami percampuran budaya dari banyak bangsa yang datang ke Betawi saat itu.
Menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman, soto tangkar dan soto betawi saat itu banyak menyerap dari kebudayaan Tionghoa, India, dan Arab.
Hal itu bisa dilihat lewat penggunaan minyak samin sebagai salah satu bahan dalam soto tangkar dan soto betawi.
Perbedaan dasar antara soto tangkar dan soto Betawi terletak pada penambahan rempah, dimana soto tangkar menggunakan kapulaga dan jintan, sementara soto Betawi tidak menggunakan jintan dan kapulaga.
Proses pembuatan keduanya hampir sama, tetapi soto tangkar ditambahkan kentang yang direbus bersama daging, sedangkan soto Betawi menggunakan campuran santan dan susu pada kuah kaldu, menciptakan hasil yang lebih creamy daripada soto tangkar.
Baca Juga: Sama-sama Pakai Daging, Ternyata ini Perbedaan Utama Coto Makassar dan Pallubasa
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR