Selain itu, ancaman terbesar orang utan berasal dari perburuan dan perdagangan.
Biasanya yang diburu adalah bayi orang utan yang diculik dengan cara menembak induknya. Bayi itu kemudian dijual hidup-hidup untuk dijadikan binatang peliharaan.
Setelah tahun 2005, seiring dengan turunnya pembalakan hutan, interaksi warga dan orang utan juga makin berkurang.
"Sekarang orang sudah mulai paham karena pelestarian orang utan sudah banyak disampaikan banyak lembaga," kata dia. Penegakan hukum terhadap beberapa kejadian pembunuhan orang utan pun menurutnya efektif.
Karena warga sudah tahu bahwa orang utan adalah binatang yang dilindungi, kini muncul perubahan perilaku masyarakat saat terjadi konflik yang muncul dari hilangnya habitat orang utan.
Jika primata itu masuk ke perkebunan dan lahan pertanian warga, warga melaporkannya kepada LSM, seperti BOSF atau WWF dan kepada BKSDA.
Baca Juga : Ngeri, Bukannya Sayuran, Restoran Vegetarian Ini Menyajikan Daging Manusia Sebagai Menu Utama
"Jadi meski ada konflik tapi tidak sampai membunuh, apalagi dimakan dagingnya," kata dia. Pada tahun 2018, dia mencatat hanya ada dua kasus pembunuhan karena konflik.
Berbeda dengan konflik hewan dilindungi lainnya seperti konflik harimau dan gajah yang terkadang memakan korban jiwa manusia, dalam konflik manusia dan orang utan korbannya selalu si orang utan.
Saat ini ada sekitar 30.000 orang utan diperkirakan hidup di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Di Taman Nasional Sebangau, ada sekitar 6.000 orang utan dan sekitar 1.000 di antaranya telah dilepaskan di Bukit Baka-Bukit Raya.
"Konflik dan pembunuhan hanya turunan dari ancaman utama, yaitu hilangnya habitat orang utan. Jika kita bisa meredam hilangnya habitat, konflik antara orang utan dan manusia pun bisa dikurangi," katanya. (BBC Indonesia)
Baca Juga : Sering Mengonsumsi Makanan Berminyak, Wanita Ini Terserang Penyakit Mengerikan Di Usia 20 Tahun!
Source | : | Tribunwow.com |
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR