Miris, Gunakan Plastik Jadi Bahan Bakar, Sebuah Pabrik Tahu Di Indonesia Jadi Perbincangan Media Asing
SajianSedap.com - Sampah plastik tidak hanya mencemari lingkungan, tapi juga dapat berbahaya bagi kesehatan bila diolah dengan sembarang.
Salah satu penggunaan sampah plastik yang disalahgunakan adalah berada di sebuah desa bernama Tropodo.
Di daerah tersebut, lebih dari 30 perusahaan tahu menggunakan campuran plastik dan kertas sebagai bahan bakarnya.
Sampah-sampah tersebut ternyata sebagian besar datang dari AS.
Olahan kacang kedelai yang kaya protein itu diproduksi di halaman belakang.
Namun, kekhawatiran pun muncul terkait dengan material bahan bakarnya.
Apa saja bahaya menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar? Yuk kita simak info berikut.
Dapat Menimbulkan Konsekuensi Racun
Dilansir media AS New York Times Kamis (14/11/2019), asap dan abu dari plastik yang terbakar menimbulkan konsekuensi racun.
Menguji telur ayam yang ada di sana, laporan dari aliansi kelompok lingkungan hidup Indonesia dan asing menemukan kandungan racun.
Termasuk di dalamnya adalah dioxin, polutan yang dikenal dapat menyebabkan penyakit kanker, Parkinson, hingga cacat saat lahir.
Warga setempat bernama Karnawi yang tinggal di dekat tujuh pabrik tahu, para pekerja bakal mulai membakar pada pagi buta hingga malam.
"Ini terjadi setiap hari, dengan asap itu selalu berada di udara. Saya jadi tidak bisa bernapas," ucap pria berusia 84 tahun itu.
Dalam laporan yang dirilis, telur yang dihasilkan oleh salah satu ayam dari Karnawi tercatat mengandung dioxin tinggi yang pernah terekam.
Kandungan dioxin dalamnya tertinggi kedua di Asia setelah telur yang dikumpulkan dekat Bien Hoa, bekas pangkalan udara AS saat Perang Vietnam.
Artikel berlanjut setelah video berikut ini.
Sampah plastik menjadi bahan bakar di pabrik tahu di Tropodo
Dilaporkan New York Times, racun dioxin itu bermula ketika negara-negara Barat melakukan upaya penyortiran sampah untuk didaur ulang.
Kebanyakan sampah itu kemudian dikirim ke luar negeri, termasuk ke Indonesia, di mana dikombinasikan dengan sampah lokal untuk diolah.
Namun, ada sampah yang tidak bisa didaur ulang, dan berakhir menjadi bahan bakar di pabrik tahu di Tropodo, desa di timur Pulau Jawa.
"Benda ini dikumpulkan dari AS dan negara lain, dan kemudian dijadikan sumber pengapian pabrik," kata Yuyun Ismawati dari Nexus3 Foundation.
Tujuan akhir dari sampah-sampah hasil penyortiran itu adalah Tropodo.
Setiap hari, sebuah truk mengangkut kertas dan plastik, dan menurunkan muatannya di pabrik tahu.
Menurut sopir truk yang bernama Fadil, dia sudah mengantarkan muatan plastik dan kertas ke industri tahu selama 20 tahun terakhir.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memerhatikan masalah kesehatan
Dengan keadaan yang mengkhawatirkan ini pun, aktivis lingkungan menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memerhatikan masalah kesehatan dalam rangka mengembangkan ekonomi.
Kalangan pemerhati pun meminta Presiden Jokowi menangani kontaminasi racun, termasuk polusi udara serta kontaminasi merkuri.
Juli lalu, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKHK) Rosa Vivien Ratnawati berkunjung ke Tropodo.
Di sana, dia mengakui bahwa plastik yang dibakar dapat menimbulkan racun.
Dia kemudian menyatakan bakal mencari tahu bagaimana asap dari pembakaran plastik bisa dikendalikan.
"Jika plastik yang digunakan sebagai bahan bakar tidak dipermasalahkan, seharusnya ada penanganan bagaimana polusinya," tuturnya.
Saat dihubungi The Times pekan lalu, Rosa menolak membahas isu tersebut, dan meminta supaya didiskusikan kepada Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah.
Warga Tripodo yang resah akan pencemaran bahan bakar plastik
Karena sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, banyak dari warga Tropodo mengaku tidak berdaya untuk mencegah pembakaran sampah plastik tersebut.
Para pembuat tahu di Tropodo mengungkapkan, mereka berpindah dari plastik ke kayu bakar sejak bertahun-tahun yang lalu.
Nanang Zainuddin misalnya, Dia mengaku menggunakan plastik karena murah.
Bahkan dia mengungkapkan harganya sepersepuluh dari kayu bakar.
"Jika pemerintah berniat untuk memberikan solusi, tentu akan bagus sekali," terangnya.
Mantan kepala desa Tropodo Ismail yang juga produsen tahu menuturkan, dia sempat melarang penggunaannya pada 2014 silam.
Tetapi larangan itu hanya bertahan selama beberapa bulan sebelum mereka beralih ke plastik.
"Para pembuat tahu di sini hanya mencari untung, untung, dan untung. Mereka tidak memperhitungkan akibat dari perbuatan mereka," paparnya.
Penulis | : | Rafida Ulfa |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR