Sekembalinya dari tanah suci, ternyata beliau tidak bisa melupakan kenangan di Kota Rabigh termasuk dengan kulinernya.
Ia kemudian meminta juru masak istana untuk membuat masakan dengan rasa yang mirip dengan apa yang ia cicipi di Kota Rabigh.
Meski tak sama persis, namun Sultan Maulana Hasanuddin cukup menyukai makanan yang dibuat sang juru masak.
Sejak itu masakan ala Rabigh ini menjadi hidangan wajib di Istana Kesultanan Banten dan menjadi salah satu hidangan favorit sultan.
Resep masakan ini kemudian tersebar ke seluruh Banten, dan menjadi makanan yang juga disukai masyarakat.
Nama makanan ini mulanya disebut Rabigh, namun lambat laun pengucapannya pun berubah menjadi Rabeg.
Rabeg menjadi populer bukan karena rasanya yang lezat, namun juga karena nilai histori yang ada di baliknya.
Tak heran jika kemudian persebaran kuliner ini mengikuti wilayah yang dulu pernah dikuasai oleh Kesultanan Banten.
Rabeg mulanya hanya disajikan dalam acara khusus, seperti pernikahan, selametan, dan acara-acara besar Islam.
Makanan ini pun kian populer di Banten dari hari ke hari. Satu per satu penjualnya mulai bermunculan dan membuat rabeg terkenal di Banten.
Rabeg hingga kini terus dikenal sebagai olahan daging kambing khas Banten. Bentuknya mirip dengan semur, tetapi lebih ringan.
Baca Juga: Sejarah Cendol dan Dawet Serta Perbedaan Keduanya yang Sering Dikira Sama
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR