Irwandi juga mengemukakan pandangannya tentang nikah syar’i dan nikah menurut negara.
Yang membedakannya, menurut Irwandi, hanyalah konsekuensi hukum duniawi saja.
Artinya, bila ada sengketa antara suami istri yang menikah tidak tercatat pada KUA, negara tidak bisa campur tangan, misalnya dalam hal hak pusaka, nasab anak, dan lain-lain.
Tetapi bagi suami istri yang patuh kapada Allah dan rasul-Nya, lanjut Irwandi, hak dan kewajiban suami istri itu sama saja bagi mereka, baik mereka menikah di KUA maupun menikah secara syar’i.
Hak-hak istri tak dibedakan, hak anak tak dibedakan, hak faraid tak diingkari.
"Dulu ayah ibu kita pun umumnya menikah secara syar’i. Kalau di zaman kakek nenek saya, hampir dapat dipastikan semuanya tidak ada yang nikah di KUA. Toh orang tua saya baik-baik saja, kan. Tidak ada sengketa faraid," demikian Irwandi yang pada 11 April lalu sudah mendaftarkan nota banding perkaranya ke Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. (*)
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR